saya bukan manusia nomaden

13:05

 Postingan pertama di tahun 2014 :)

Kemarin saya mengobrol sama teman baru saya di sekolah pasca, dia cerita kalau dia dari TK, SD,SMP, SMA, kuliah S1, S2, semuanya di tempat yang berbeda-beda. Dia juga bilang, karena sudah terbiasa nomaden dari kecil karena pengaruh pekerjaan orang tua, sekarang dia merasa, kayaknya hidup dia gak bisa kalau gak berpindah-pindah, dia berpikir kalau gak pindah apakah hidup akan jadi membosankan. Keadaan dia ini sangat bertolak belakang dengan apa yang saya alami, karena saya tinggal di tempat yang sama dari lahir hingga saat ini, TK-SD-SMP-SMA di Serang, walau memang semenjak kuliah saya merantau ke Bogor, tapi ya tempat saya pulang dan tinggal ya hanya satu, di Serang ini. Obrolan saya dengan dia ini membuat saya menyadari sesuatu yang sebenarnya hal kecil tapi bisa menjadi masalah besar. Dan masalah ini sangat menyangkut dengan bidang ilmu yang saya tekuni, yaitu mengenai RUANG.


Bisa dibilang, rumah saya (milik orang tua juga sih) termasuk rumah yang paling awal terbangun dibandingkan dengan tetangga-tetangga di komplek perumahan yang saya tinggali ini. Awalnya komplek perumahan ini tidak padat, ruang terbuka antar rumah itu masih sangat banyak. Saya masih ingat, tempat saya maen engklek, maen bentengan, maen boy-boyan, maen gobag, maen petak umpet, maen ucing lari, maen layangan, punya tempat yang lumayan banyak tinggal pilih aja mau dimana. Gak cuma itu, pohon-pohonan juga masih sangat banyak, bahkan mungkin seperti hutan masih ada juga. Saya dengan teman-teman sangat suka bermain di situ, mengambil buah rambutan hutan, jambu monyet, dan buah-buah liar yang bisa dimakan. Selain itu, rumah saya juga berada di samping kali (sungai kecil) yang masih ada ikan-ikannya, saya pun sering memancing di situ, senangnya ketika mendapat ikan wader atau bayong di tangkapan kail saya. Setiap musim hujan, kadang air di kali meluap sampai melebihi batas atas, sehingga sebagian area taman rumah saya pun digenangi air kali, dan situ juga saya suka bermain air.

Kondisi sekitar rumah saya saat itu adalah bagian depan (barat) lapangan kosong dengan rumah kecil, bagian samping kiri (selatan) kali dengan seberangnya juga lahan kosong, bagian samping kanan (utara) sepetak lahan kosong dan sepetak sebelahnya adalah rumah tetangga, serta bagian belakang (timur) adalah pepohonan, didominasi oleh pohon pisang dan dengan satu pohon nangka yang sangat besar. Karena ketidak-nomaden-an saya ini, saya bukan tidak memperhatikan, tapi mengalami sendiri bagaimana perkembangan pembangunan di sekitar rumah saya. Entah sejak kapan, mungkin prosesnya yang begitu pelan dan saya juga cuek ketika itu, karena saya belum sadar dan peduli dengan perubahan lingkungan di sekeliling saya. Dimulai dengan bagian depan rumah saya, rumah kecilnya digusur, kemudian dibangun rumah yang sangat besar sehingga antara rumah saya dan rumah yang dibangun depan rumah saya ini hanya dipisahkan oleh jalan komplek yang hanya cukup untuk satu mobil. Kemudian, beberapa tahun kemudian di samping kanan rumah saya juga mulai berdatangan material-material bangunan, yang tentu saja untuk membangun rumah, kali ini antara rumah  saya dan tetangga ini sangat padat, satu hanya dibatasi oleh tembok rumah masing-masing. Nah, pembangunan rumah di samping kanan ini sangat mempengaruhi saya, karena kamar saya menghadap ke utara (samping kanan) sehingga saya bisa melihat perbedaan pemandangan di balik jendela ketika belum terbangun dan setelah terbangun. Saat ini saya cuma bisa melihat tembok yang tinggi, saya merasa pandangan saya jauh lebih terbatas sekarang.

Beginilah pemandangan di balik jendela kamar saya sekarang, cuma ada tembok rumah tetangga, hanya paku tanduk rusa yang ditanam ayah yang bisa saya lihat cukup menarik.

Dan... beberapa tahun kemudian pun, ya mungkin dengan pendapatan warga sekitar kompleks saya yang semakin meningkat, maka mereka pun menambah bangunan untuk kebutuhan tempat tinggal mereka, dan ini terjadi pada rumah tetangga saya yang berada di samping kanan ini. Mereka menambahkan bangunan sampai memanjang ke belakang. Dan ini yang membuat saya kecewa, pohon nangka yang besar itu pun jadi ditebang demi membangun rumah mereka. Entahlah, saya tidak begitu mengerti, apakah mereka tidak menyadari akan pentingnya pohon, apalagi yang sudah besar seperti itu, menumbuhkannya saja butuh bertahun-tahun lamanya. Saya cuma bisa melihat dengan miris.

Beruntungnya, rumah saya memiliki lahan yang cukup luas, bahkan sekarang ini setengah dari luas lahannya dimanfaatkan oleh ayah saya untuk ditanami macam-macam, mulai dari pohon buah-buahan, tanaman hias, sayur serta umbi-umbian. Ayah saya yang sudah pensiun ini sangat rajin mengelola taman di rumah saya, jadi saya tidak terlalu  kecewa dengan pembangunan di sekitar rumah saya karena keluarga saya ini masih memperhatikan pentingnya ruang terbuka di rumah sendiri. So, ketika saya punya rumah nanti, saya pun ingin menerapkan ruang terbuka di rumah saya sendiri, mungkin kalaupun tidak mempunyai lahan cukup, bisa diakali dengan membuat taman vertikal atau pun taman atap, semoga tercapai. aamiin.

ini merupakan salah satu spot taman yang dibuat dan dikelola dengan baik oleh ayah saya

You Might Also Like

1 comments

  1. tau nih siapa yg diajak ngobrol :p
    aku juga aku juga terjebak di bogor malah dari lahir sampe sekarang, hehe. tamannya bagus sekali btw :D

    ReplyDelete